Sekuat karang dilautan barisan itu, bertegar dari deburan ombak yang mengamuk bersama sang waktu, menyisakan bait-bait puisi untuk di kenang para penikmat mimpi, dalam peluh yang menjadi tak seberapa, dalam duka yang menjadi tak sekira, dalam senyum syahadatnya menggema kealam raya, dengan khusyu’ sang imam mulai memimpin barisannya, pasukan penuh semangat, runtuhkan kesombongan pekat.
Lusuh raga, peluh tubuh, kumal jiwa, hilang tak berbekas, terbesut basuhan air wudlu di subuh yang berkabut. Iqomah mengalun merdu, menggema di penjuru langit Duduk. Masih tersisa sahutan ayam pejantan memanggil sang fajar yang malu-malu masih sembunyi di ufuk timur.
Ida dengan mukenah putihnya mulai mengangkat takbir, mengikuti sang imam dalam memimpinnya. Penyerahan penuh, tergurat dalam bait-bait ayat. Al-Fatihah sebagai pembuka dalam dinginnya pagi, pengantar bagi para makhluk untuk meresapi apa yang telah menjadi rizqi. Surah ar-Rahman, menjadi cambuk cemeti hati. Meruntuhkan nafsu, menuntut janji, menagih pada apa yang telah di beri dari Ilahi Rabbi untuk raga ini.
Bukan… bukan hanya raga, tapi seluruh penciptaan alam semesta raya beserta isinya. Bukan … bukan hanya alam raya beserta isinya, itu masih belum seberapa, masih kalah dengan yang namanya hati. Yang bisa merasakan nikmatnya alam ini.
Bukankah telah jelas diantara tanda-tanda kekuasaan Illahi yang telah engkau nikmati. Hanya sekedar mengingat kembali janji yang telah terpatri di alam sebelum dunia ini, kontrak abadi dengan Penguasa jagad fana ini.
Al-Fatihah lagi-lagi menjadi pembuka wajib rakaat berikutnya, sang imam dengan merdunya masih melantukan lanjutan surah Ar-rahman, semakin merinding bulu hati ini serasa tercambuk duri, raga ini seolah tak lagi memiliki nilai di mata pencipta hidup ini, Illahi Rabbi.
Matahari mulai berani menampakkan diri, langkah kaki Ida jelas, sebuah tempat penuh keramaian menumpuk segala kemaksiatan, sebuah tempat berkumpulnya syaitan mengadu strategi mencari celah lengah manusia dipagi hari ini, berani mengurangi takaran nekat pula mencuri timbangan, ada yang jujur ada pula yang ikhlas, tawar menawar menjadi kunci halalnya sebuah transaksi. Penuntun diri mengharab kekharibahan Illahi.
“Pagi mbak…., tumben kok belanja sendiri” tanya penjual sayur langganan bu Munawaroh. “Ibumu kemana tho ndhok…. ndhok.” Tegurnya kembali.
Sembari membolak-balik sayur kangkung, mencari celah mana yang menjadi sempurna dari seonggok ikatannya, “iyah buk… mboe lagi sakit, jadi ya terpaksa saya yang beli sayur, lha kalo saya ndhak mau beli terus nanti masak apa?”
“Ealah,… cah ayu… cah ayu… Ono ae parik ane” si tukang sayur pun mencolek tangan Ida.
“Ini berapa bu dua ikatnya…” disodorkan dua ikat kangkung ke penjual.
Dari satu lesehan menuju lesehan yang lain, Ida mencoba melengkapi seluruh tulisan pesanan ibunya. Mencoba memenuhi isi tasnya dengan bahan belanjaan.