Kamis, 08 September 2011

GADIS PASIR (Part 1)

Di Tepi Bengawan

Setiap manusia pasti akan menjalani apa yang sudah ditakdirkan untuk dirinya. Ada kalanya kita tidak mampu merubah atau dengan sengaja ingin memusnahkannya.
Padang pasir terhampar luas, kilauannya menyilaukan mata tertuju. Burung layang-layang dengan riang menari mengitari riuk air, tanaman kacang-kacangan di sebrang Bengawan menjadi penghijau suasana di gersangnya hari. Matahari dengan gagahnya terus membara memelototi seluruh apa yang ada di bawahnya. Tidak juga aku tapi yang lainnya.
Para Ibu muda dengan anak-anaknya. Para Kakek dengan cucunya, dengan senang menikmati segarnya air Bengawan Solo. Sesekali nampak ikan-ikan kecil datang menghampiriku, mereka berebut menggigit kaki putihku, satu pergi berpuluh datang. Mereka dengan manjanya bermain di bawah tubuhku.
Siang ini udara sangat panas. Namun, para nelayan di tengah-tengah Bengawan Solo masih semangatnya menabur jalanya. Sedangkan diriku masih menikmati menenggelamkan tubuhku kedalam air.
Jembatan yang berisik itu masih tetap berisik saja, lalu lalang mobil hilir mudik masuk dan keluar ada yang tak mau mengalah ada pula yang harus ikhlas sabar menunggu yang lain keluar. Bunyi klakson seakan menjadi hiburan selingan yang diiringi kerasnya bunyi knalpot, asapnya pun membumbung tinggi efek samping dari pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna. Mungkin sudah banyak timbal yang telah terbebas darinya. Bantalan jembatan yang terbuat dari kayu ulin itu sempat aku lihat kemarin jatuh, dari ketinggian jembatan meluncur dengan gaya bebas laksana seorang atlet terjun air, beberapa kali salto dan kemudian meluncur ke bawah. Gaya grafitasi telah membantunya lebih cepat sampai keair. Bukan hanya itu hukum archimedes pun terjadi di sana, di siang hari di tengah-tengah matahari yang masih tetap gagahnya sama seperti hari ini.
Dari belakang, sesosok gadis datang dengan kemben-nya dan handuk merah berkalung di pundaknya. Tak lupa bak yang biasanya di gunakan untuk mencuci, di panggulnya. Langkah kakinya dilangkahkan menuju kearahku. Bening air menyambutnya tak lupa juga senyum manisku mengiringi.
“Siang-siang seperti kamu masih rajinya, apa tak takut nanti kulitmu gosong? Mengapa tidak tadi pagi-pagi saja, kan enak nggak panas?” pertanyaan basi-basi membuka percakapan kami, setelah dia meletakkan bak penuh cucian di tepian. Mengisinya dengan air dan kemudian menenggelamkan tubuhnya disampingku. “Bukannya aku tak mau mencuci pagi-pagi tadi, entah hari ini aku merasa sangat lelah sekali, jadi kebawa sampai pekerjaan juga.” Beberapa kali dia menenggalamkan kepalanya menikmati kesegaran Air Bengawan solo. “Asri, cucianmu sendiri mana, tumben kok aku tidak menemukan bak yang biasanya kamu gunakan untuk mencuci. Apakah hari ini kamu juga merasa malas untuk mencuci?” tanyanya setelah mengakat kepalanya dari dalam air untuk yang kesekian kali.
“Sudah tadi pagi An, mungkin sekarang sudah hampir kering. Entah mengapa beberapa hari sangat berbeda sekali tak seperti hari-hari yang lalu, kamu merasa aneh apa tidak?” Bukan menjawab dia malah balik bertanya. “Sudah berapa lama kamu berendam, bukankah kamu sudah mendapat peringatan dari dokter dilarang lama-lama berendam di dalam air. Aku takut kejadian seperti yang dulu terulang lagi.”
Ku tatap wajah Ana, tampak raut keseriusan yang bersemburat di lekuk wajah putihnya. Seketika itu aku berdiri, tanpa lagi menjawab pertanyaan yang dia ajukan. Bukan aku tak perduli tapi kasihan juga Ana kalau nanti dia kena marah karena berada di Bengawan Solo bersamaku. Aku takut kejadian yang telah lalu terulang lagi, kejadian dimana aku harus mendapat perawatan intensif. Aku tak bisa bernafas, dan batuk-batuk darah, sekujur tubuhku dingin. Tiga hari aku mengalami koma, ibuku yang umurnya sudah mendekati usia delapan puluh menangis, tak kuasa melihat ku.
Aku lahir dari keluarga sederhana, mempunyai tiga saudara perempuan dan satu laki-laki. Aku sendiri anak paling akhir. Ketiga kakak perempuanku sudah berkeluarga tinggal aku dan kakak laki-lakiku saja yang belum.
Aku mulai mengambil handuk yang berada tidak jauh dari tempatku berendam. Dari kejauhan, teriakan Elang terdengar keras memanggil namaku. Di tentengnya jaring di tangan kananya dan tempat ikan di tangan kirinya. Jaring yang selalu dia gunakan untuk mencari ikan di Bengawan setiap harinya, kulitnya hitam terbakar sinar matahari setiap hari, tapi senyum ramahnya tetap menghiasi saat bertemu dengan siapun juga. Elang berlari kencang kearah kami berdua. Meskipun jauh, cepat juga dia sampai. “Dapat banyak kah hari ini Elang?” Tegurku untuknya. “Siapa dulu Elang ….!” Diselingi tawa khasnya dengan bangga dia mengunggulkan kepiawaiannya menangkap ikan. “Terus kenapa kamu kemari? bukannya langsung pulang?. Kan sudah dapat banyak.” Elang mengutarakan maksudnya menghampiri kami berdua, Ana naik keatas kemudian duduk di tempat pertama kali ia menaruh cuciannya yang telah dia rendam tadi. “Setelah ujian nanti kamu akan melanjutkan sekolah kemana? Satu minggu lagi kan kita mau Ujian Nasional.” Ana mulai memasang wajah garangnya, mendengar pertanyaan yang elang lontarkan. “Sudah tau mau ujian, kamu masih enak-enakan cari ikan di Bengawan. Bukannya rajin belajar.” Aku hanya bisa menahan tawa, menertawakan Elang yang mendapat semburan berbisa dari Ana. Elang sendiri hanya diam, tak kuasa membalas umpatan Ana. Dipancangkan tongkat yang biasa dia pakai untuk menaruh tempat ikannya, jaring kesayanganya digantungkannya. Setelah itu dengan teliti Elang mulai memilah dan memilih hasil tangkapannya tadi. Dibaginya dua bagian, kemudian bagaian yang satunya di pecah lagi menjadi dua bagian lagi. Bagian yang utuh dia masukkan lagi kedalam tempat ikan. Dua bagian yang tersisa diberiannya kepada Ana dan aku.
Setelah itu dia pun berpamitan, meninggalkan kami berdua dengan ikan yang lumayan untuk lauk hari ini. Sebelum lari Elang mengambil beberapa genggam pasir dilemparkannya kearah kain basahanku dan Ana. Ana notabenya anak yang hobi marah-marah langsung berdiri meninggalkan cuciannya, mengambil segenggam pasir dan dilemparkannya kearah Elang. Tapi terlambat bagi Ana, dia sudah lari jauh meninggalkan kami. Ikan hasil tanggkapannya hari ini. Yang seharusnya dijual, telah diberikan kepada kami sebagian.
Aku kembali masuk kedalam air membersihkan diri dari pasir, sebentar setelah itu aku berpamitan pada Ana yang sedang asyiknya meneruskan cucian yang sempat tertinggal akibat ulah Elang padanya. Bak air yang seharusnya aku isi dengan air, kini berganti dengan ikan pemberian Elang.
*****