Sebuah Hadiah Kecil
Pagi. Suasana kelas berubah, saat Pak Jarwo membacakan daftar anak yang lulus Unas, Semua bersorak sorai semangat. Aku memperhatikan wajah Elang cerah, meskipun hitam akibat kebiasaannya mencari ikan di Bengawan tak menghilangkan teduh senyumnya yang menduhkan setiap orang yang memandang. Seperti biasa Elang mendapatkan peringkat pertama dalam ujian kali ini. Bukan hanya kali pertama tapi hampir dalam setiap ujian yang laksanakan guru, mulai kelas satu sampai sekarang.
Aku menyendiri. Berada paling belakang, ujung sebelah kiri. Itulah tempat yang paling aku senangi. Elang datang, dia menghampiriku. Entah apa yang akan diucapkannya kali ini, atau apa yang akan ia tanyakan padaku. Mungkin soal kemarin, atau mungkin yang lainnya. Langkah kakinya perlahan namun pasti. Jawaban apa nanti yang harus aku suguhkan untuk memuaskan pertanyaan-pertanyaan yang akan dia ajukan. Ataukah aku harus diam, atau berbohong?
Ketika aku diam aku takut, dia selama ini terlalu baik untukku. Ketika aku harus berbohong, aku masih ingat pesan Bapak “Bahwa setiap kemanapun engkau pergi kejujuran harus engkau pegang meskipun itu menyakitkan, sopan santun harus di amalkan, tata krama harus dijaga, hormat terhadap yang lebih tua wajib hukumnya.” Itu pun dikatakannya sebelum beliau meninggal. Ketika aku harus jujur, aku takut. Takut kalau Elang menganggapku pendusta. Takut kalau Elang tidak bisa menerimanya. Hatiku kacau. Sekacau air Bengawan saat sudah mulai pasangnya, saat air hulu mulai melubernya, coklat. Berlumpur pekat. “Aku mohon Tuhan, jangan sampai Elang menagih jawaban yang terlontar kemarin siang tuhan. Aku masih belum siap untuk menjawabnya.” Do’aku dalam hati.
Tanpa kusadari dia sudah berdiri dihadapanku, dan memperhatikanku sejak tadi. “Kenapa melamun?” Kalimat lugu itu keluar dari bibir Elang. “Hasilnya juga tidak jelek-jelek amat, pasti lagi ada masalah?” “Sebenarnya aku, aku bingung Lang. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan yang engkau ajukan kemarin.” Batinku lagi, menjawab pertanyaannya.
“Oh ya, aku punya sesuatu buat kamu. Mungkin kamu suka, sebab aku lihat kemarin ada sedikit yang aneh denganmu. Mungkin kelamaan di air barangkali.” Sebuah hadiah kecil, dibungkus dengan rapi menggunakan kertas kado ujung atas dan bawahnya berpita biru selaras dengan pembungkusnya. Entah apa isinya, aku tak tahu. Aku mencoba untuk membukanya saat itu, namun Elang melarangku membukanya di sini. Pintanya ketika sudah sampai di rumah saja.
Jam pelajaran terakhir mulai berlalu, seluruh kelas sudah diakhiri. Aku keluar, Vebri teman sekelasku menghampiri dari belakang. Sebuah tawaran jasa untuk menemaniku pulang pun bersambut, seperti biasanya kami pulang bersama. Kali ini tak kulihat Elang, mungkin dia sudah pergi pulang terlebih dahulu. Rumahku dan Vebri tak jauh dari tempat kami sekolah kami searah. Meskipun di desa, fasilitas yang ada cukup memadahi. Meskipun sekolah swasta dan berlebel Madrasah, telah banyak alumni yang tercetak di sana menjadi orang-orang penting di kota. Atau ada yang kembali pulang seperti pak Jarwo. Beliau rela meninggalkan jabatannya di instansi pemerintahan hanya untuk selalu hadir menemani kami dalam ruang belajar.
Hari ini aku sangat beruntung, Elang tak memintaku untuk menjawab pertanyannya. Karena hanya dia satu-satunya temanku yang menanyakan prihal itu. Tidak Vebri atau yang lainnya. Bukan juga wali kelasku, Pak Jarwo. Entah jawaban apa nantinya yang harus aku berikan kepada mereka jika pertanyaan itu terlontar. Dalam perjalanan aku teringat dengan pemberian Elang. Sebuah kado kecil untukku, aku keluarkan dari dalam tas. Vebri berhenti sejenak memastikan apa yang hendak aku kerjakan. “Apaan itu?” Sebuah pertanyaan penuh keingin tahuan yang Vebri ucapkan.
“Entahlah Veb, aku tak tahu apa isinya!” Huh… aku mendesah panjang.
Udara siang ini panas sekali, ingin sekali rasanya aku merendamkan tubuh ini ke Bengawan Solo. Tapi keinginan itu harus terhenti oleh larangan Ibu.
“Kita mencari tempat berteduh dulu, Asri. Hari ini udaranya panas sekali, aku sampai tak kuat dibuatnya” Pinta Vebri
“Dimana?” Sahutku, “Mungkin di bawah pohon mangganya Pak Dadang, tuh lihat rindang kan?” Aku turuti perkataan Vebri, aku pun mengekor dirinya. “Mungkin kau bisa membuka bungkusan kecil itu sekarang?” Pintanya. Aku mencoba memastikan apakah isi bungkusan kecil itu, tiga buah Lip Ice. Natural, Colour dan Strawbery. Dan sebuah surat kecil ikut juga dalam bungkusan itu.
Dear Asri
Sebelumnya aku mohon maaf atas kelancanganku memberikanmu hadiah kecil ini, kemarin waktu kita bertemu di padang pasir tepi Bengawan Solo. Aku lihat bibirmu, dia kering. Seolah panas matahari telah menang mengalahkanmu, mungkin hadiah kecil ini akan sedikit membantu. Jangan tertawa… atau membuangnya, aku sendiri tak tahu mana yang kau suka. Jangan kau remehkan khasiatnya selain ia membuatmu cantik, ia juga akan menyejukkan bibirmu di tengah teriknya matahari. seperti diriku yang akan selalu menyejukkan hatimu di tengah gersangnya kehidupan ini.
Dari aku Elang.
Vebri tertawa sejadi-jadinya seperti orang kesurupan, setelah mendengar aku membaca surat dalam kado kecil pemberian Elang. Aku tak peduli. Aku mencoba menjauh darinya, memasukkan hadiah yang diberikan Elang kedalam tasku lagi. Langkah kaki ku percepat menuju rumah yang masih harus kutempuh setengah perjalan lagi. Vebri berlari, tawanya tak berhenti juga. Dia memanggil namaku berkali-kali. Lagi-lagi aku tak perduli.
Lelah perjalanan pulang ku tempuh, dan masih tertinggal rasa dongkol terhadap tingkah Vebri. Tas ku taruh di tempat biasa, ibu memanggilku menanyakan tentang kegiatan di sekolah tadi. Lain Mbak Yusti, dia menyuruh untuk segera makan siang setelah itu meminum obat hasil dari cek up yang aku lakukan satu minggu yang lalu. Obat terakhir untuk hari ini. Entah lah aku sudah lelah, aku tak ingin lagi meminumnya. Aku ingin seperti anak-anak yang lain yang tak harus tergantung pada obat-obat dokter, hampir setiap hari aku harus menelan butiran-butiran kecil pil pahit itu. Kulihat isi dalam tasku. Tiga buah Lip Ice varian strawbery menarik perhatianku. Kulihat wajahku di cermin, benar perkataan Elang mungkin aku harus mulai mencobanya. Mencoba untuk merawat diriku mulai dari hal yang sederhana, mulai memperhatikan diriku diawali dari hal yang terkecil. Aku mulai mencoba menghiaskan di bibirku, setelah selesai hatiku mulai bergejolak. Aku tak ingin, aku pula tak mau jika setiap hari harus menelan butiran-butiran pahit itu lagi.
Kali ini tak kuturuti perintah Mbak Yusti, segera aku menganti baju seragam dengan kain kemben sebuah handuk tak lupa aku bawa. Kumasukkan Lip Ice pemberian Elang kedalam tas. Aku berlari menuju kamar mandi, sebuah bak air berisikan perlengkapan mandi sudah tersedia di sana. Matahari siang masih dengan ganasnya menyala membakar ubun-ubunku. Tapi tak kuperdulikan, aku terus melangkah menuju Bengawan Solo.
Padang pasir terhampar luas masih setia menyambutku disiang yang terik ini, kilaunya semakin hari semakin tak surut bahkan lebih bercahaya. Tiga buah pohon kelampis raksasa masih kokohnya berdiri di belakangku, selalu setia menemani Bengawan Solo mulai pasang hingga surutnya. Mulai kecil sampai sekarang bediri dengan kokohnya. Kali ini angin semakin kencang berhembus, sesekali mempermainkan dedaunan kering yang berjatuhan dari rantingnya. Tak ketinggalan bulir-bulir pasir ikut bercanda bersamanya. Pasir itu terasa panas di kakiku, tapi segera tergantikan dengan sejuknya air Bengawan Solo. Aku mulai menuju ketengah mencari tempat yang masih bisa untuk aku jajaki. Seluruh tubuh aku rendamkan, sejuk. Aroma strawbery masih terasa. Aku mencoba duduk di tepi Bengawan, lagi-lagi ikan kecil seperti biasanya dengan manja bermain dengan tubuhkku.
“Asri…!!!” Teriak Elang dari tengah Bengawan, kali ini dia dengan jagonya seperti perenang ulung berenang menghampiriku ketepian. Sebuah tali di pegangnya tali yang biasa dia gunakan, tali yang mengikat jaring yang sering dia pakai untuk menangkap ikan, yang hasilnya selalu dia jual untuk memenuhi kebutuhannya bersekolah. Dia satu-satunya siswa di kelasku yang mendapat keringan biaya sekolah, setengah dari biaya tersebut telah diselesaikan oleh seorang dermawan, sisanya dia harus mencarinya sendiri. Mencari ikan adalah salah-satunya. Hal itulah yang dilakukannya setiap selesai sekolah di musim kemarau saat ini.
“Dapat banyak, Lang?” Tanyaku basa-basi setelah dia menepi. “Alhamdulillah, baru dua kali terjun sudah dapat banyak, ini yang ketiga. Bagaimana?” Pertanyaan itu terhenti, tapi mengapa berhenti dan bagaimana untuk apa? Jangan Lang, jangan kau tanyakan pertanya itu lagi. Mentalku masih belum siap untuk menjawabnya. “Bagaimana apa?” tanyaku selidik meminta kepastian atas pertanyaan yang sudah terlontar tadi. “Nggak… aku cuma ingin tahu, bagaimana perasaanmu setelah membaca surat yang baru saja aku berikan tadi.” Oh tuhan syukurlah, bukan pertanyaan yang kemarin lagi yang dia ajukan. Tapi aku masih was-was. Aku masih belum tahu apakah pertanyaan itu akan berulang, aku berharap jangan sampai.
“Oh, ya… terima kasih ya! Aku senang sekali atas hadiahnya, baru saja sebelum berangkat aku mencobanya, varian strawbery menarik perhatianku. Jadi yah… begitu lah.” Percakapan kami berlanjut, tapi dia pamit sebentar ingin mengambil jaring yang sudah ditariknya ketengah tadi, apakah ada ikan bodoh yang terjerat olehnya. “Asri cobalah kemari, lihat apa yang aku dapat!” Elang memanggilku, aku berdiri dari tempat dudukku semula. Mencoba memenuhi panggilannya, sebuah ikan bandeng terjerat dalam jaringnya. Ikan yang sangat jarang sekali dia dapat. Umumnya ikan yang sering di peroleh adalah ikan bader mirip ikan mas tapi beda postur tubuh, ikan bader bertubuh lebih lebar, dan banyak sekali hidup di Bengawan ini.
Aku girang, baru kali ini Elang memberi kesempatan untukku mengeluarkan ikan dari jaring yang ia miliki. Dengan sabar dia menuntunku bagaimana cara mengeluarkannya, di mulai dari kepala terlebih dahulu kemudian di tarik keluar searah kepalanya. Tawaku berkumandang, menggema memecah bisingnya kendaraan yang berlalu lalang di jembatan dan bunyi kayu bantalannya. “Lihat aku dapat lagi.” Kata Elang sembari menunjukkan ikan bader kepadaku. Kali ini ikan itu amatlah besar, lebih besar dari ikan-ikan yang ada di tempat ikannya. Kulihat wajahnya bersemangat. Girang. “Wah hari ini jika dapat sepuluh ekor saja bisa berapa uang yang aku hasilkan.” Ujarnya.
“Asri… Asri… Asri…!!!” Aku mendengar namaku dipanggil oleh suara yaang tak asing lagi bagiku, suara itu semakin mendekat. Dia berjalan melangkah di atas pasir yang panas menuju kearah kami berdua. Kulihat raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang sangat. Mbak Widi kakak perempuanku yang ketiga datang menghampiri, diantara saudara-saudaraku dialah yang paling mudah marah. Tempramennya tinggi berbeda halnya dengan saudaraku yang lain. “Ayo cepat pulang!!” Hardiknya keras. “Dan kamu, tidak usah lagi mengajak Asri bermain dengan jaringmu yang bulukan itu, kamu tahu tidak Asri itu sedang sakit.” Segala makian dan cacian Mbak Widi keluarkan, Elang hanya bisa diam membisu. Sesekali wajah teduhnya dia sembunyikan dalam-dalam. Mungkin dia malu atau entah, tapi perasaaannya mungkin saat ini sedang hancur. Remuk mendengar umpatan dan cacian Mbak Widi.
“Mbak Widi jahat, bukan begini caranya memperlakukan orang lain!” aku berlari mengambil handuk yang kutaruh di tiang kayu di tepi Bengawan. Tangis tak bisa ku bendung, aku terus berlari menuju rumah. Aku sudah tak memperdulikan warga yang melihatku, bahkan tanya Ana juga tak ku hiraukan. Pintu kamar aku kunci rapat-rapat setelah sampai di rumah, kain basahan aku lepas kuganti dengan baju kurung. “Mbak Widi jahat.” Tangisku tak henti-hentinya, Ibu mencoba mengetuk pintu kamarku beberapa kali, tapi kali ini aku tak perduli.
“Asri, ada apa Asri? Buka nak, ada apa nak? Kenapa kamu menangis seperti itu? Apa yang terjadi? Kenapa dengan Mbak Widi?” Segala pertanyaan, Ibu lontarkan kepadaku. Aku hanya bisa menjawabnya dengan tangisan. Tangisan yang seharusnya tidak perlu harus aku perlihatkan di depan wajah sayunya. Aku pun mulai merenung. Kasihan ibu sudah tua, aku tak ingin beliau bersedih melihat aku seperti ini. Pintu kamar perlahan-lahan aku menghampirinya, kunci pengganjal aku tarik. Kudapati Ibu berdiri tepat di depan pintu kamarku. Mbak Yusti sudah tidak ada, dia sudah pulang kerumah suaminya yang tak jauh dari rumahku. Mbak Widi masih belum kembali dari Bengawan, kak Angga hari ini jadwalnya piket menjaga toko milik Pak Harun.
Tubuh rapuh itu aku peluk dengan erat, aku tak mau melepaskannya. Perlahan namun pasti tangan lembutnya membelai rambut basahku yang terurai panjang. Butir air mata tak sanggup aku tahan, “Apa yang terjadi terhadapmu? Ada apa dengan Mbak Widi?” suara lembut itu terdengar merdu ditelingaku, sungguh besar perhatian Ibu terhadapku. “Sudahlah…” di tuntunnya aku masuk kedalam kamar, kami sama-sama duduk di tempat tidur yang sering aku gunakan untuk memanjakan diriku dengan cerita-ceritanya sewaktu aku masih kecil.
Sekali lagi ibu mengulang pertanyaannya kepadaku. “Mbak Widi jahat, bu…!” Rengekku seperti anak kecil yang ingin selalu dimanja oleh ibunya. “Aku kasihan terhadap Elang, sewaktu aku mandi di Bengawan tadi, Mbak Widi memakinya habis-habisan. Aku kan tidak enak dengannya, bukan Elang yang salah. Mbak Widi menuduh Elang seenaknya saja. Aku yang salah. Aku kasihan dengan Elang Buk...”
“Sudahlah, Ibu mengerti apa yang kamu rasakan. Nanti biar Ibu suruh Mbakmu Widi meminta maaf pada Elang atas ulahnya yang telah memarahinya. Memang seperti itu Mbakmu, kamu tahu sendiri kan!” Penjelasan ibu sedikit menenangkanku, ku seka air mata yang sejak tadi tak kunjung juga berhenti mengalir dari mataku. “Tapi bukan seperti itu caranya Bu, Mbak kan bisa ngomong baik-baik terlebih dahulu tidak langsung nylonong main hantam sana hantam sini kayak petinju brutal yang lagi emosi.”
“Sudahlah, biar Ibu nanti yang nasehati Mbakmu.” Di basuhnya tetesan air mata yang masih tersisa di pipiku.
“Assalamu’alaikum.” Suara Mbak Widi sebelum memasuki pintu rumah. Langsung di tujunya kamarku, dia mulai marah-marah. Ibu yang duduk di tempat tidurku pun tak di hiraukannya lagi. Segala pertanyaan mulai dari makan siang sampai minum obat, dan apa saja yang telah aku lakukan dengan Elang pun di singgungnya dengan keras.
“Mbak nggak perlu segitu-gitunya terhadap Elang?” Belaku
“Apa… apa… terang-terangan kalian berduan di Bengawan. Apa itu… heh apa?” Teriaknya keras terhadapku.
“Mbak jahat, Mbak nggak mau pernah mengerti perasaan Asri?” Aku mulai batuk-batuk, mataku dipenuhi kunang-kunang, mereka berterbangan dengan riangnya kesana kemari. Nafasku mulai naik-turun berpacu tak tentu, aku merasa seperti kejatuhan langit yang runtuh. Sungguh sangat sesak sekali. Aku berjuang mengambil nafas sekuat tenaga, semakin kuat aku berusaha semakin aku merasa sia-sia. Wajah Ibu, wajah Mbak Widi mulai kabur dari pandanganku tergantikan oleh tarian kunang-kunang yang menari dengan indah.
Aku terjatuh. Tubuhku tak berdaya, tempat tidur dengan setia selalu menerima tubuhku. Baik saat senang, saat susah, bahkan saat dimana aku seperti ini. Samar-samar terdengar suara Ibu, “Cepat panggilkan Angga, adikmu kambuh lagi penyakitnya.” Tangan lembutnya membasuh hidungku dari darah yang terus aku keluarkan. Darah dengan hangatnya terus mengalir, lagi-lagi tangan ibu masih setia membersihkannya.